oleh

Rubrik Alinea Riau Pos Edisi 9 Oktober 2022 – Pantun: Jalan Merawat Bahasa, Sastra dan Budaya

Pantun: Jalan Merawat Bahasa, Sastra dan Budaya

Oleh: Laposa Mirta Dea Roja dan Vega Aisyah Alifia Khan

(Duta Bahasa Riau 2022)

 

Berangkat dari sebuah langkah sederhana, siapa pun berkesempatan untuk memiliki kemampuan bahasa terbaik. Termasuk di dalamnya peranan generasi muda dengan segala kemudahan akses untuk memperdalam wawasan kebahasaan dan pengelolaan informasi ke seluruh tempat tanpa batasan di peradaban modern saat ini. Melalui hal tersebut, duta bahasa lahir untuk menjadi mitra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang juga memiliki unsur representasi generasi muda sebagai bukti pentingnya kualitas kemampuan kebahasaan yang dimiliki oleh tiap penggerak bangsa kelak.

Membangun kemampuan kebahasaan yang berkualitas tentu mengharuskan duta bahasa untuk memiliki krida bahasa yang strategis agar pengembangan dan pembinaan bahasa yang dilakukan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Hal ini tidak hanya merujuk pada kemampuan bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa lain yang termaktub dalam slogan “Trigatra Bangun Bahasa” yaitu utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.

Berdasarkan hal tersebut, duta bahasa dipilih sedemikian rupa tidak hanya menjadi mitra, tetapi juga sebagai bentuk representasi yang bisa melahirkan krida bahasa cerdas dan situasional. Krida bahasa harus mampu menarik atensi dengan kemasan yang menarik sehingga mengundang keingintahuan target untuk berpartisipasi lebih lanjut. Penyusunan krida bahasa dimulai dengan mempertimbangkan aspek yang paling dibutuhkan, seperti kemampuan berbahasa yang tanggap, dan cekatan tanpa mengurangi kualitas isi pesan yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya, krida bahasa harus bisa menciptakan suatu karakter unggul bagi masing-masing partisipan. Terakhir, krida bahasa harus mampu berjalan secara konsisten dan berkelanjutan.

Eksistensi krida dari duta bahasa merupakan wadah bagi generasi muda untuk menuangkan kreativitas dan inovasi dalam aspek kebahasaan tanpa meninggalkan prioritas lain. Krida bahasa diharapkan dapat melekat dan menjadi bagian dari program belajar yang mendukung keberlanjutannya di aspek lain. Krida bahasa dapat menjadi salah satu praktik baik dari sistem belajar yang digunakan di setiap sekolah. Oleh karena itu, Duta Bahasa Riau 2022 menaja sebuah krida bahasa dengan nama Garda Pantun (Gerakan Pemuda Berpantun).

Krida bahasa Duta Bahasa Riau 2022 yang berfokus pada pantun dilatarbelakangi oleh kekhawatiran hilangnya pantun yang telah menjadi identitas masyarakat Melayu Riau. Banyak pemuda yang tidak sadar menyerap segala informasi yang dipaparkan oleh internet tanpa melalukan filtrasi. Media sosial menjadi salah satu sumber yang paling cepat dalam penyebaran informasi-informasi tersebut. Budaya luar yang silih berganti hadir di gawai generasi muda mengalihkan perhatian mereka pada budaya sendiri yang sejatinya menjadi identitas yang harus dipertahankan dan dikenalkan kepada masyarakat luas.

Pantun sudah menjadi identitas masyarakat Melayu sejak dahulu. Tidak diketahui kapan pastinya pantun hadir di Indonesia. Namun, pantun diyakini sudah hadir jauh sebelum kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam masuk ke nusantara. Maman Mahayama menyebutkan ada tiga aspek yang menjadi dasar pantun dijadikan sebagai identitas masyarakat Melayu. Pertama, pantun merupakan karya asli bangsa Melayu. Kedua, pantun mencakup semua orang Melayu. Ketiga, pantun kerap digunakan di berbagai kesempatan. Secara terperinci, pantun yang menjadi identitas masyarakat Melayu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, sejak 1500 tahun yang lalu, pantun telah berkembang di lingkungan masyarakat Melayu melalui berbagai ritual. Misalnya, pada masyarakat suku Talang Mamak dan Petalangan dalam pengobatan Bulian/Belian, suku Bonai dengan ritual Bedewo, dan  suku Sakai dengan Dikei. Pantun juga kerap dijumpai dalam bentuk mantra dan jampi. Pantun berakar dari tradisi lisan yang kemudian berkembang menjadi tradisi tulisan. Perkembangan pantun tersebut diprakarsai bukan oleh masyarakat Melayu, melainkan peneliti mancanegara yang penasaran dengan pantun dan misteri yang terkandung di dalamnya. Sejak tahun 1688, banyak sekali peneliti barat yang melakukan riset tentang pantun. Salah satunya adalah Francois-Rene Daillie, seorang peneliti asal Perancis yang membuat buku Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun tahun 1988. Para peneliti tertarik meneliti pantun karena bentuk dan bunyi yang dihasilkan pantun sangat khas dan menjadi bentuk ungkapan rasa hati serta pemikiran masyarakat Melayu. Hal tersebut membuat peneliti barat menyebut pantun sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum (misteri yang dahsyat menggetarkan dan menakjubkan).

Kedua, pantun tidak dibatasi oleh stratifikasi sosial, jenis kelamin, usia, hubungan darah, dan agama. Tidak ada keharusan orang yang berpantun adalah budayawan, seniman, atau bahkan pejabat saja. Hal yang membedakan pantun dengan karya sastra yang lain adalah pantun dapat dibuat dan dilantunkan oleh masyarakat dari semua kalangan. Kehadiran pantun juga menjadi representasi dari sosial-kultural masyarakat Melayu yang sejatinya tidak membeda-bedakan orang dalam bermasyarakat.

Ketiga, pantun menjadi istimewa karena dapat beradaptasi di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Pantun tidak hanya berkembang di wilayah Riau, tetapi juga di seluruh penjuru nusantara. Pantun menyesuaikan dengan bahasa dan kebudayaan daerah masing-masing. Dalam bahasa Jawa pantun dikenal dengan sebutan Parikan, Sunda menyebutnya dengan Paparikan, dan masyarakat Batak menyebutnya dengan Umpasa. Meskipun bahasa dan aksen yang digunakan berbeda, struktur dari pantun yang ada di berbagai daerah tersebut sama. Berbeda dengan karya sastra lain yang membutuhkan tempat sendiri untuk mengutarakannya, pantun dapat digunakan di masyarakat dalam kondisi apa pun. Suasana suka, duka, susah, senang hingga jatuh cinta dapat diungkapkan dengan pantun. Pidato, ceramah, perkawinan, kegiatan adat istiadat, dan aktifitas masyarakat lainnya dapat membubuhkan pantun didalamnya.

Gerakan Pemuda Berpantun (Garda Pantun) berupaya menghadirkan pantun yang menjadi khazanah kekayaan budaya Melayu kepada generasi muda Indonesia khusunya yang ada di Riau. Garda Pantun diharapkan dapat menumbuhkan rasa cinta generasi muda terhadap pantun yang kemudian berlabuh pada semangat untuk sama-sama melestarikannya. Melestarikan pantun berarti melestarikan tiga dimensi aset tak berwujud (intangible asset) negara di bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan. Menurut UNESCO Thematic Think Peace, kebudayaan juga merupakan hal yang substantif bagi pembangunan berkelanjutan suatu negara. Pelestarian pantun saat ini menjadi lebih penting lagi karena pantun telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda (WBTB) dunia oleh UNESCO pada 17 Desember 2020. Sertifikasi tersebut menjadi kebanggaan sekaligus tantangan bagi Indonesia karena pada tahun 2024 akan dilakukan asemen kembali oleh UNESCO terkait perkembangan pantun. Apabila pantun hanya jalan di tempat atau bahkan mengalami kemunduran, maka gelar sebagai WBTB dunia akan diambil kembali. Hal tersebut yang menjadi urgensi bagi para pemuda sebagai tonggak bangsa harus turut melestarikan pantun.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.