Pentingnya Mengawinkan Sastra Melayu Riau dengan Gerakan Literasi Sekolah
Oleh: Sumarni, S.Pd., M.Psi.
(Guru BK SMPN 46 Pekanbaru)
Kebijakan tentang pembiasaan membaca buku teks nonpelajaran selama 15 menit sebelum belajar tertuang dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015. Artinya, program ini bukanlah program internal sekolah atau program lokal setiap daerah, melainkan sebagai program nasional. Saya sangat yakin bahwa ketika Mendikbudristek RI membuat sebuah aturan tentang pembiasaan literasi sebelum memulai proses pembelajaran, tentunya bukan tanpa alasan. Manfaat dan tujuan yang ingin dicapai dari pembiasaan ini pastinya sudah dirumuskan dengan jelas. Salah satunya adalah untuk menumbuhkan budaya membaca bagi siswa.
Selanjutnya, timbul pertanyaan, apakah literasi itu hanya sekedar kegiatan membaca buku? Tentu tidak demikian. Dalam wikipedia bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa literasi merupakan istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya literasi tidak dapat dilepaskan dari kemampuan berbahasa. Merujuk pada penjelasan tersebut, dapat saya simpulkan jika literasi dilakukan dengan sungguh-sungguh akan membawa efek yang positif bagi siswa. Efek positif yang dimaksud adalah para siswa akan menguasai berbagai keterampilan yang berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan semua aktivitas yang melekat padanya.
Sekarang, mari kita coba cermati bersama. Jika dalam satu minggu ada 4 hari yang digunakan untuk kegiatan literasi selama 15 menit per hari, siswa akan mendapatkan kesempatan membaca buku teks nonpelajaran paling sedikit sebanyak 60 menit per minggu. Lalu, 60 menit dikalikan 4 minggu maka hasilnya 240 menit per bulan. Kita kalikan 10 bulan, hasilnya sebanyak 2400 menit. Artinya, setiap siswa memiliki waktu untuk berliterasi sebanyak 40 jam pertahun. Waktu yang cukup banyak bukan?
Sebagai seorang pendidik sekaligus sebagai warga Riau, saya punya satu angan-angan atau lebih tepatnya punya mimpi tentang peran yang dapat diambil dari sebuah gerakan literasi sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan GLS terhadap perkembangan dunia sastra Melayu di Riau. Mimpi saya sangat sederhana yaitu ingin mengawinkan GLS dengan sastra Melayu Riau. Mengapa kedua hal yang berbeda tersebut harus dikawinkan? Jawabannya agar dengan waktu yang dimiliki tersebut dapat melahirkan sesuatu yang bermakna. Hal itulah yang dapat memberikan sumbangsih pada kemajuan perkembangan sastra Melayu di Riau.
Sebagaimana kita ketahui bersama, sekolah dapat diibaratkan sebagai miniatur bangsa Indonesia karena karakteristik murid yang sangat beragam. Ada siswa yang bersuku Melayu, Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bugis dan lain-lain. Oleh karena itu, sudah saatnya mereka harus dikenalkan dengan sastra Melayu Riau. Tentu hal ini tidak semata-mata menampik budaya daerah mereka masing-masing. Hal ini justru akan memperkaya budaya yang mereka miliki. Saya yakin mereka tidak atau belum memiliki pengetahuan tentang sastra Melayu Riau. Jika pihak sekolah tidak memperkenalkannya, sastra Melayu Riau akan semakin terkikis oleh derasnya arus budaya asing.
Sebenarnya pemerintah daerah telah memasukkan pelajaran Budaya Melayu Riau (BMR) dalam kurikulum muatan lokal. Akan tetapi, sangat disayangkan topik tentang sastra Melayu Riau sangat minim dibahas dan diajarkan kepada siswa. Padahal, sebagai lembaga pendidikan formal tentunya sekolah memiliki banyak ruang dan kekuatan untuk mengembangkan sastra Melayu Riau. Sebut saja salah satunya adalah guru. Guru merupakan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam hal keilmuan dan keterampilan terkait dunia sastra. Sumber daya lainnya adalah otoritas sekolah. Dalam hal ini sekolah memiliki kewenangan dalam membuat aturan atau kebijakan yang mendukung perkembangan dunia Sastra Melayu.
Selanjutnya, apa yang dapat kita lakukan dengan potensi tersebut? Tentu banyak sekali. Salah satunya adalah sekolah harus memaksimalkan peran GLS. Para pegiat literasi, guru dan koordinator GLS, dituntut untul menyusun sebuah program khusus atau unggulan. Program yang dimaksud adalah program yang ditujukan untuk melatih keterampilan siswa dalam membuat berbagai jenis tulisan tentang sastra Melayu. Dengan demikian, GLS dapat dijadikan sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai budaya melayu yang terkandung dalam sebuah karya sastra.
Jenis-jenis sastra Melayu yang dapat digalakkan dalam kegiatan GLS adalah pantun, gurindam, syair, legenda, puisi, dan dongeng. Para guru yang diberikan tanggung jawab utama dalam GLS harus mampu merancang dan menentukan langkah-langkah kerja yang jelas untuk diimplementasikan dalam aktivitasnya di sekolah. Selain itu, berbagai metode dan teknik yang menarik harus dikuasai dan disajikan dalam proses pembelajaran. Hal tersebut tentun akan menjadikan literasi sebagai kegiatan yang menyenangkan dan sangat diminati oleh siswa. Anak-anak akan semakin tertarik dan akan jatuh cinta pada budaya yang ada di negeri bertuah ini.
Melalui GLS siswa akan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang jenis-jenis sastra yang disebutkan tadi. Setelah itu mereka dapat diperkenalkan tahap demi tahap tentang bagaimana cara menulis, membaca, dan memahami tentang makna-makna yang terkandung pada setiap jenis sastra tersebut. Setelah mereka memiliki pemahaman yang baik, tingkatkan keterampilan mereka tentang bagaimana cara mengekspresikan atau mendemontrasikan dari hasil-hasil karya sastra yang mereka buat. Para siswa harus mengalami langsung bagamana caranya bersyair, mendongeng, berpantun, berpuisi dan membaca gurindam yang baik dan benar-benar sesuai kaidah yang berlaku.
Untuk memberikan apresiasi sekaligus ajang promosi, sekolah dapat memfasilitasi semua karya sastra siswa dan kerja tim literasi untuk ditampilkan di depan seluruh warga sekolah dan juga orang tua siswa serta pihak-pihak terkait. Sekolah dapat membuat sebuah acara khusus misalnya gebyar karya siswa dalam sastra melayu Riau. Waktu pelaksanan dan rancangan acaranya dapat disesuaikan dengan kalender pendidikan yang berlaku. Contohnya dilakukan pada saat pembagian rapor pada akhir semester atau saat kenaikan kelas.
Dapat kita bayangkan jika para pegiat literasi melalui program-program unggulannya mampu memotivasi siswa untuk membuat satu karya sastra, akan banyak karya sastra melayu Riau yang akan terlahir dari buah perkawinan ini. Saya yakin jika setiap sekolah dapat mengambil peran dalam kegiatan ini, perkawinan ini bukanlah sebuah perkawian yang mandul. Saya berharap GLS benar-benar dapat menunjukkan eksistensi dirinya di tengah masyarakat, khususnya masyarakat dunia pendidikan. Pastinya GLS bukan lagi sebuah program yang mati suri atau program yang bersifat latah. Saya yakin melalui perkawinan ini sastra melayu Riau akan semakin berkembang. Tak ada lagi alasan bagi kita untuk menunda perkawinan antara sastra Melayu Riau dengan GLS.
Komentar