Campur Kode sebagai Representasi Budaya
(Studi Bahasa Anak Jaksel)
Oleh: Helda Munirah, M.Pd. (Analis Kurikulum dan Pembelajaran Kemenag Kota Pekanbaru)
Saat melintas di jalan protokol di Kota Pekanbaru—tepatnya di awal Januari 2023—ada kalimat menarik pada baliho ucapan selamat tahun baru 2023 dari Pemerintah Kota Pekanbaru. Kalimatnya berbunyi “Selamat Tahun Baru 01 Januari 2023, Semangat Baru, Pekanbaru Maju, Let’s Move Pekanbaru”. Kira-kira apa yang terlintas di benak kita saat membaca kalimat tersebut?
Kemudian cermati pula kalimat yang sering bermunculan saat membuka akun media sosial layaknya sebuah iklan produk. Contohnya, “Healing lagi kita, healing ya bestie”, “Peduli orang lain it’s good, but love your self itu penting” dan “Mental health perlu dalam bekerja, it’s very important agar kinerja semakin meningkat”.
Apakah ini bahasa anak gaul (slang) terbaru? Atau hanya suatu kebiasaan kita yang suka mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam proses berkomunikasi? Atau inikah yang sering disebut bahasa anak Jaksel (Jakarta Selatan) yang pernah viral? Fenomena mencampurkan beberapa bahasa dalam satu kalimat percakapan ‘menular’ dengan cepat, tanpa filter sama sekali. Pembiasaan penggunaan bahasa tersebut dapat dijumpai di mana saja, baik dalam bahasa lisan, resmi maupun komunikasi melalui media sosial seperti twitter, facebook, instagram, telegram, tik-tok, siniar dan sebagainya.
Pembiasaan menggunakan bahasa lebih dari satu ini dalam ilmu sosiolinguistik disebut juga dengan alih kode dan campur kode. Alih kode adalah kemampuan penutur menggunakan dua bahasa atau lebih dalam berkomunikasi. Sementara itu, campur kode lebih mengarah kepada penggunaan kata asing dalam kalimat yang dituturkan. Campur kode adalah jika dalam suatu peristiwa tutur klausa-klausa dan frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran dan setiap klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri (Thelander dalam Chaer dan Agustina, 1995: 115).
Campur kode dapat terjadi dimana saja. Penggunaan campur kode—di Indonesia—sudah cukup lama terjadi tetapi hanya digunakan oleh kalangan tertentu. Percampuran dua bahasa ini sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda untuk mempertegas status sosial mereka sebagai orang yang terdidik. Perkembangan zaman yang semakin canggih menyebabkan berbagai budaya mudah dan cepat sekali masuk ke Indonesia. Percampuran bahasa ini tidak bisa dihindari karena tidak adanya proses filtrasi terhadap budaya yang masuk tersebut. Banyak anak muda yang merasa lebih keren dan intelek dengan menggunakan campur kode tersebut.
Bagi kaum milenial di Indonesia, campur kode ini populer dikenal dengan ‘bahasa anak Jaksel’. Istilah ini muncul karena mayoritas mahasiswa dan pelajar di daerah Jakarta Selatan menggunakan campur kode dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Campur kode ini menjadi ‘magnet’ bagi masyarakat untuk menggunakan bahasa yang sama (meniru) dalam berkomunikasi. Selain itu, wilayah Jakarta Selatan yang identik dengan kelas ekonomi menengah ke atas, menuntun mereka untuk memilih menggunakan beberapa bahasa (dwibahasa/bilingual) dalam komunikasi sehari-hari.
Campur kode sangat berkaitan dengan kedwibahasaan/bilingual. Menurut Rahardi (2010:6), bilingual adalah penguasaan dua bahasa, yakni bahasa pertama dan bahasa kedua. Dengan budaya multikultural, kemampuan dwibahasa masyarakat Indonesia memberi kemudahan memilih bahasa yang tepat untuk digunakan dalam berkomunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya percampuran bahasa. Dengan kata lain, campur kode mencampurkan bahasa ibu dengan bahasa asing (Inggris, Arab, Korea, Jepang) atau bahasa daerah (Jawa, Minang, Melayu, Sunda, Bugis). Ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa populer, baik dalam konteks tuturan langsung maupun di media sosial.
Perhatikan beberapa campur kode yang sering muncul di media sosial. Misalnya, “Udah, dibawa santai aja, Bro, jangan baper, no hard feeling”. Contoh lainnya, “Maaf, Mister, ana lupa menyampaikan surat undangan untuk orang tua” atau “Semenjak munculnya Covid-19 di Indonesia, banyak orang yang semakin aware terhadap mental health.”
Dari beberapa contoh di atas, campur kode semakin membuka peluang munculnya kata-kata asing baru dalam kosakata percakapan di masyarakat seperti staycation, which is, literally, actually, basically, morning person, overthinking, inner child, cyber widow, body shaming, gaslighting, healthy relationship, invasion of privacy, hidden gems, me time, mental health, open minded, spill, support system, toxic, work life balance, staycation, dan panic attack.
Faktor dan Dampak Campur Kode
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya campur kode. Pertama, kemajuan teknologi. Hal ini menjadi salah satu faktor pendukung penyebaran fenomena campur kode ke berbagai daerah. Kedua, faktor kedwibahasaan. Kecenderungan menggunakan beberapa ragam bahasa dalam percakapan membuat komunikasi antarpenutur bahasa semakin interaktif dan komunikatif. Ketiga, lingkungan sosial dan status sosial. Penggunaan campur kode banyak ditemui di perguruan tinggi, wilayah perkantoran dan bisnis, serta pengguna media sosial. Lingkungan bahasa yang terjadi berada dalam suasana santai dan biasanya memiliki banyak kesamaan dalam hobi, pekerjaan, kebiasaan, dan pola pikir yang cenderung mengarahkan penggunaan bahasa yang sama. Keempat, faktor representasi dan eksistensi diri ingin diakui keberadaannya. Kelima, spontanitas. Dalam sebuah situasi komunikasi, terkadang tidak menemukan kata yang tepat untuk dipilih dan digunakan sehingga perlu memilih kata atau ungkapan dari bahasa asing secara spontan.
Penggunaan campur kode ini tentunya berdampak pada eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Pembiasaan campur kode menunjukkan semakin berkurangnya penggunaan frasa dari bahasa Indonesia karena masyarakat lebih merasa senang dan bangga memasukkan istilah atau unsur asing dalam berbahasa. Akan tetapi, di sisi lain campur kode juga merepresentasikan kemampuan penguasaan bahasa seseorang dalam bekomunikasi. Selain itu, munculnya istilah asing tentunya akan menambah dan memperkaya jumlah kata serapan dalam bahasa Indonesia.
Hakikat bahasa yang dinamis dan bervariasi membuat pengguna bahasa boleh saja memilih bahasa yang akan digunakan untuk berkomunikasi. Semua kembali pada hakikat dan fungsi bahasa sebagai bagian dari identitas penuturnya. Seperti kutipan lirik lagu, “Mbok yo sing full senyum sayang, ben aku soyo tambah sayang, roso pusing-pusing, mbok ndang dandan ayo kita healing” (Full Senyum Sayang, Evan Loss). Mari selalu bangga dengan budaya dan bahasa Indonesia!
Komentar