oleh

Rubrik Alinea Riau Pos Edisi 5 Februari 2023 – Menilik Nilai Historis Masa Penjajahan Jepang pada Karya Sastra di Provinsi Riau

Menilik Nilai Historis Masa Penjajahan Jepang pada Karya Sastra di Provinsi Riau

Listi_Mora_Rangkuti_Ketua_Komunitas_Riau_Sastra

Listi Mora Rangkuti, S.S., M.Hum.

Ketua Komunitas Riau Sastra

 

Karya sastra merupakan ekspresi dari realitas sosial dan sesuai dengan potret zaman. Seperti halnya beberapa karya sastra berlatarkan Provinsi Riau di dalamnya terdapat potret zaman yang mencerminkan masa Penjajahan Jepang ketika menduduki Indonesia. Masa kekuasaan Jepang yang cukup singkat itu telah menorehkan kisah panjang bagi masyarakat, bahkan sempat diabadikan oleh para pengarang dalam karya-karya sastra.

Keberadaan karya-karya tersebut disinyalir sebagai karya yang mengandung nilai historis yang tidak akan lekang dari ingatan masyarakat. Ada beberapa karya  yang dapat memberikan informasi tentang nilai historis dari jejak-jejak kekuasaan Jepang di Provinsi Riau, seperti: Puisi “Pahlawan Kerja”, Mitos Datuk Laksemana “Raja di Laut”, Mantra “Ajo Jopun” Suku Sakai, dan Kumpulan Syair Nasib Melayu.

Nilai historis akan didapati pada beberapa karya di atas dengan menggunakan pendekatan historis. Sesuai dengan pendapat Ratna (2007:106) bahwa pendekatan historis mempertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial yang merupakan refleksi zamannya (Ratna, 2007: 106).

Puisi “Pahlawan Kerja” dikarang oleh H.R. Soebrantas Siswanto ketika masa jabatannya sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau pada 10 Nopember 1978. Puisi tersebut merupakan bukti penghormatan beliau kepada arwah para pahlawan yang dikenal dengan sebutan Pahlawan Kerja. Para Pahlawan Kerja merupakan warga Pribumi yang gugur setelah dijadikan sebagai Romusha oleh tentara Jepang. Puisi “Pahlawan Kerja” disematkan pengarang pada tugu batu di lokasi Cagar Budaya Monumen Kereta Api dan Makam Pahlawan yang berlokasi di Kota Pekanbaru. Berikut ini kutipan puisinya:

Pahlawan Kerja

 

Wahai Kusuma Bangsa

Anda diboyong Jepang penguasa

Bekerja bekerja bekerja

Nasibmu dihina para

Jasadmu tak kulit terurai tulang

 

Di sini Anda rehat bersama

Tanpa tahu keluarga

Tak ada nama dan upacara

 

Namun jasadmu dikenang bangsa

Andalah Pahlawan Kerja

Ya Allah keharibaan-Mu Kami persembahkan mereka ampunilah

Rahmatilah mereka

 

Pengarang menguraikan penderitaan para Romusha ketika dijadikan sebagai pekerja paksa pada proyek pembangunan rel kereta api antara Muaro-Muarakalaban-Pekanbaru. Para Romusha dipaksa oleh Jepang untuk bekerja dengan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Puisi ini menjadi salah satu bukti otentik sejarah kekejaman pendudukan Jepang tahun 1942-1945 di Provinsi Riau.

Mitos Datuk Laksemana “Raja di Laut” menyimpan cerita yang berhubungan dengan pendudukan Jepang di Provinsi Riau. Mitos tersebut diyakini oleh masyarakat kolektif sebagai sebuah cerita pelipur lara dan mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Akan tetapi, tradisi lisan yang terdapat di dalam mitos Datuk Laksemana “Raja di Laut” mulai hilang sejak masuknya Jepang.

Datuk Laksemana diyakini sebagai pemimpin dalam perburuan telur ikan terubuk. Ikan terubuk memiliki khasiat dan kandungan gizi yang tinggi dan sekaligus sebagai kekayaan alam. Bagi masyarakat setempat, ikan terubuk dijaga oleh “hantu” terubuk sehingga satu-satunya yang bisa terhubung dengan  “hantu” terubuk hanya Datuk Laksemana. Oleh karena itu, untuk menjaga hubungan baik dengan “hantu” terubuk, masyarakat setempat mengadakan pesta rakyat nelayan setiap tahun.

Akan tetapi, pada masa Perang Dunia II hasil tangkapan ikan terubuk mulai menipis. Masyarakat meyakini bahwa sejak masuknya tentara Jepang ke wilayah Provinsi Riau, ikan terubuk hampir punah dan sulit menemukannya kembali. Mitos ini dipercaya karena Datuk Laksemana tidak ada lagi sehingga tiada pula yang menghubungkan antara “hantu” terubuk dengan masyarakat (Rifai, 1977)

Mantra Ajo Jopun merupakan salah satu sastra lisan yang diucapkan pada saat kegiatan badikei suku Sakai. Badikei merupakan tradisi lisan berupa ritual pengobatan dengan melibatkan supranatural melalui roh-roh para leluhur. Adapun “Ajo Jopun” yang berarti “Raja Jepang” pada mantra badikei merupakan roh tentara Jepang yang dianggap sangat egois dan kejam (Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau, 2012). Berikut ini kutipan Mantra “Ajo Jopun”:

Ajo Jopun, si Ajo Jopun   Raja Jepang si Raja Jepang

O’ang tuo kuat ombun      Orang tua kuat….

Ajo Jopun dae,                    Raja Jepang, kawan,

Tu’un bu’ubet sungguh    Turun berobat sungguh

 

Pada mantra di atas, Ajo Jopun dipanggil dengan sebutan raja sebagai sanjungan agar bersedia ikut serta dalam ritual pengobatan dan turut memberikan upaya penyembuhan bagi pasien. Mantra ini membuktikan bahwa Jepang diakui sebagai penjajah yang sadis dan disamakan dengan roh dalam mantra di atas. Mantra Ajo Japun menjadi sebuah bukti sejarah bahwa Jepang juga menjajah masyarakat suku Sakai meskipun keberadaan mereka jauh di dalam hutan.

Syair Nasib Melayu merupakan kumpulan syair karya Budayawan Riau, Tenas Effendy, pada 2006. Kumpulan syair tersebut berisi tentang sejarah Melayu dan karakter Orang Melayu. Berikut ini sebait kutipan syair Nasib Melayu:

Syukurlah Jepang menjajah tidak lama

Dikalahkan Sekutu dengan bom atomnya

Melayu pun bangkit dengan berani

Membebaskan diri untuk merdeka

 

Dalam kutipan di atas, terdapat ungkapan bahwa Jepang menjajah dalam waktu yang sangat singkat. Pengarang menyampaikan bahwa perjuangan meraih Kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peristiwa ledakan Bom Atom di Hiroshima serta kebangkitan bangsa untuk melawan penjajahan.

            Demikianlah jejak penjajahan Jepang tertulis dalam beberapa karya sastra yang diuraikan di atas. Hal mendasar yang diharapkan pada uraian ini agar nilai-nilai historis masa penjajahan Jepang bisa menjadi pengingat bagi generasi muda sehingga terus belajar pada sejarah panjang bangsa ini. Adapun nilai-nilai historis yang dimaksud sebagai berikut: (1) Menjaga kebhinnekaan sangat penting karena fanatisme kesukuan akan memecah persatuan; (2) Apabila persatuan pecah, akan mudah dikuasai oleh bangsa asing sehingga penindasan akan terulang kembali; (3) Menyadari kekayaan SDM dan SDA khususnya di Provinsi Riau sehingga bangsa ini sudah selayaknya memiliki masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur; serta (4) Pelestarian karya sastra yang mengandung pesan-pesan historisme sangat penting dengan cara menganalisis serta melakukan inventarisasi bersama dengan instansi terkait, seperti Balai Bahasa Provinsi Riau.

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.