Membangun Kerangka Bangsa Lewat Literasi Bahasa Ibu
Oleh: Vito Prasetyo
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, peran bahasa menjadi penting dan vital untuk melakukan komunikasi. Lalu, kenapa kemudian muncul istilah atau frasa kata “bahasa ibu”? Jika kita berpijak pada sejarah, tentu ada beberapa riwayat yang mendasari istilah ini. Salah satunya karena kaum perempuan atau ibu dianggap sebagai tokoh di belakang layar, yang tidak kalah pentingnya dengan perjuangan bangsa dalam meraih kemerdekaan.
Tulisan ini mengedepankan peran bahasa dalam membangun kerangka bangsa. Kenapa bahasa menjadi penting dalam proses ini, karena untuk mencapai sebuah tujuan yang jelas, sangat dibutuhkan penguasaan dasar-dasar literasi bahasa. Bahasa bukan hanya sebagai alat atau fungsi dalam komunikasi, tetapi juga dianggap sebagai identitas bangsa/daerah. Maka ada sebuah pameo dalam masyarakat, ” ketika kita kehilangan bahasa, maka akan berbanding lurus dengan hilangnya tradisi budaya”.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita tidak bisa mengelak dengan adanya pergeseran atau perubahan sosial yang mempengaruhi perkembangan bahasa, terutama bahasa lokal/daerah. Sebagaimana kita ketahui, ada beberapa sebab yang mengakibatkan bahasa daerah mulai luntur, bahkan beberapa mengalami nyaris punah. Dalam hitungan dekade, ada beberapa bahasa adat (lokal) akan punah sama sekali karena para penuturnya makin berkurang.
Jadi, pengurangan bahasa lokal hampir tiap tahun, yang merupakan nilai sejarah dalam konteks “Bhinneka Tunggal Ika”, sedikit demi sedikit makin punah. Populasi penduduk sebagai potensi dasar dalam membangun bangsa tidak lagi bisa dijadikan pedoman untuk menstimulasi keberadaan bahasa daerah (lokal) tetap bertahan sampai pada tingkatan tergerus makin punah.
Tidak terlepas dari keberadaan gaya hidup, kita kadang harus prihatin dengan asumsi yang mengatakan: menggunakan bahasa daerah sehari-hari adalah gaya kuno yang tidak sesuai dengan zaman modern. Salah satu sebab, karena penggunaan logat dan ciri bahasa daerah kurang terakomodasi dengan pesatnya dunia digitalisasi.
Membangun rasa kebanggaan dari nilai-nilai daerah yang menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah, menjadi tantangan budaya masa kini. Ini tidak mudah, karena tidak terlepas dari perilaku sosial yang lebih berorientasi kepada literasi digital. Tentunya kita berharap, bahasa-bahasa jurnalis yang lebih mengedepankan kecepatan berita, lebih bisa mengangkat potensi bahasa lokal daripada literasi yang diadopsi dari bahasa asing.
Dari sini, jika kita melihat dari ciri bahasa, maka bahasa ibu yang ada di Indonesia merupakan rumpun bahasa yang beragam. Artinya dari logat dan intonasinya, kita dapat mengenal kesukuan bahasa daerah yang ada.
Keunikan bahasa ibu yang dimiliki oleh bangsa ini, dapat dipelajari oleh siapa saja, tanpa melihat orang tersebut berasal dari daerah/suku mana. Tingginya populasi dan perpindahan penduduk bisa berdampak pengembangan bahasa-bahasa ibu di daerah lain. Maka di banyak kasus yang ditemui, adalah kemampuan baca termasuk ujar, tidak selamanya berbanding lurus dengan kemampuan tulis, karena kecakapan tulis hanya ada pada guru yang mengajarkannya secara teoritik.
Bahasa, yang juga menjadi karakter dari sebuah bangsa, kini bagai sebuah dilematis dan di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita harus mengejar ketertinggalan dalam pembangunan infrastruktur fisik. Di sisi lain, kita juga harus segera mengatasi kemunduran dalam pembangunan infrastruktur nilai. Salah satu yang berada dalam pembangunan nilai, adalah penguasaan bahasa-bahasa standar yang banyak diadopsi dari bahasa asing. Nilai ini yang menyebabkan retakan-retakan dalam arsitektur kebangsaan.
Banyak problem terkini yang harus kita hadapi, salah satunya sistem pendidikan nasional yang berlangsung secara tidak normal. Dalam edukasi pendidikan, seyogianya sistem pembelajaran harus mampu memaksimalkan seluruh potensi yang ada, seperti interaksi sosial secara normal. Cuma kita terkendala oleh situasi atau problem pandemi yang berkepanjangan. Artinya, wawasan tentang pemahaman dan pentingnya bahasa ibu, juga mengalami kendala.
Replika pembangunan kerangka bangsa, harus juga dilihat dari kerangka regulasi yang ada. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 32 ayat (2) tersirat perlindungan bahasa daerah, dimana pasa tersebut menyatakan: negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Jika ditarik lurus pasal ini, berarti ada kewajiban negara untuk melindungi bahasa daerah yang kini banyak mengalami kepunahan. Pembangunan kerangka bangsa tidak terlepas dari catatan sejarah masa silam, sebagai fase yang harus dilewati.
Kemudian, jika kita amati pada PP Nomor 57 Tahun 2014, tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, serta peningkatan fungsi Bahasa Indonesia ada beberapa poin penting. Di antaranya: Pengembangan Bahasa adalah upaya memodernkan bahasa melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa, pengembangan laras bahasa, serta mengupayakan peningkatan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.
Bahasa Indonesia yang terdiri dari struktur dan tekstur daerah, tentu saja tidak semata-mata melepas diri dari ikatan emosional tradisi sehingga pada titik tertentu, kita dapat berasumsi dengan penggunaan bahasa ibu atau bahasa lokal tidak mempersempit ruang gerak pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seyogianya, kemajuan teknologi juga harus diimbangi dengan penguasaan serta perawatan literasi dan linguistik, agar “bahasa ibu” tidak hanya menjadi simbolik atau hanya menjadi alat seremonial belaka. Kerangka bangsa, adalah satu-kesatuan nilai budaya dan sejarah perjuangan bangsa. Imbas dari kemajuan teknologi yang begitu pesat, harusnya juga disiapkan konsep desain bagi generasi penerus bangsa, yang secara teoritis dapat dimulai dari lingkungan terdekat atau lingkup sekitar rumah.
Penguasaan literasi bahasa termasuk literasi bahasa ibu, sudah saatnya ada perhatian khusus. Kita tentu tidak ingin kehilangan rekam jejak sejarah pembangunan kerangka bangsa yang dilakukan secara simultan, dari waktu ke waktu. Dengan hadirnya badan bahasa serta balai bahasa di seluruh penjuru tanah air, ini menjadi harapan terbesar untuk mewujudkan serta melindungi potensi peta bahasa ibu/daerah. Tentunya juga harus dibutuhkan kemandirian masyarakat setempat untuk sama-sama menjaga nilai ini.
Memang tidak mudah untuk mempertahankan literasi bahasa daerah di tengah derasnya iklim perubahan sosial yang sangat drastis. Tetapi jika kita merujuk pada terminologi regulasi yang ada, tentunya hal ini bisa dipertahankan sebagai bagian dari integrasi kebahasaan kita. ***
*) Penulis adalah sastrawan dan peminat bahasa
Komentar