JATI DIRI TASAWUF DI DUNIA SASTRA
Oleh : Joni Hendri
(Suku Seni Riau)
Arti tasawuf dan asal katanya menjadi pertikaian ahli-ahli bahasa. Sebagian mengatakan bahwa perkataan ini diambil dari perkataan shifa, artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Sebagian mengatakan berasal dari perkataan shuf, yang berarti bulu binatang. Orang-orang yang memasuki tasawuf berarti memakai baju berbulu binatang dan mereka benci pakaian yang indah-indah atau pakaian di dunia ini. Ada juga yang mengatakan shufanah yang berarti kayu yang mersik tumbuh di padang pasir Arab. Akan tetapi, sebagian lagi ahli bahasa dan riwayat mengatakan bahwa di zaman akhir ini sufi itu bukanlah bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani yang telah di-Arab-kan. Berasal dari kata theosofie yang arti “ilmu ketuhanan” kemudian di lidah orang Arab menjadi tasawuf ( Hamka. 2015:1).
Sastra bukan hanya memahami ihwal teks yang terlihat oleh mata kita sebagai pembaca. Namun, kita akan berjumpa dengan berbagai persoalan dan pengalaman manusia, yang terkandung amanat yang menjadikan si pembaca sebagai spiritual sehingga karya sastra tersebut dibungkus dalam bentuk estetika. Berapa banyak karya sastra dunia yang pada mulanya hanya berupa pesan pribadi (Escarpit, 2008:166). Pengarang menulis cerita untuk cerita itu. Pengarang sebagai individu yang membuat dan memiliki karya itu (Damono, 2008: ix). Kutipan itu membawa kita ke alam yang tidak terlihat oleh mata sebab karya sastra merupakan jalan keluar dunia yang tertutup dengan membuka ruang pemikiran lewat estetika.
Pada saat ini yang menjadi permasalahan ialah pemahaman pembaca terhadap sebuah karya yang terkadang jauh dari rumah teks dan jauh dari lingkungan tetangga teks sebab memahami sastra tidak cukup dengan membaca sekilas tanpa perenungan, apalagi tanpa memahami maknanya. Hal ini kiranya yang harus dipahami sebagai pembaca dan penulis. Tasawuf salah satu kajian yang membersihkan diri dari zuhud di dunia fana, begitu tanggapan dalam kacamata Islam. Tasawuf yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah untuk mengarahkan pemikiran ke jalan yang bukan teks, yaitu memahami suatu karya dengan cara meliarkan pemikiran ke arah luar teks hingga membentuk pengayaan makna. Dengan begitu, akan menjadi bukti bahwasanya kita akan lebih mencintai teks sastra di dalam kehidupan. Hal tersebut bisa memperbaiki budi yang kotor terhadap kemalasan diri dengan dunia pemaknaan. Walaupun pekerjaan tersebut sangat menyulitkan, hal itulah yang menguatkan dunia sastrawan dalam menyampikan kebenaran-kebenaran kehidupan.
Mungkin salah satu penyebab penulis gagal dan orang yang gagal paham dalam sebuah teks adalah ketika urusan-urusan teks menjadi meluas sampai kepada cerita-cerita kehidupan pribadi si penulisnya, tentang keluarganya, dan tentang kebiasaan masa lalunya. Lalu, karya atau teks tersebut sulit dimaknai akal sehat. Apalagi dengan pandangan tasawuf yang begitu jauh dan suci untuk memaknai ke arah positif. Bagaimana dengan orang yang tidak menguasai teks Sastra Sufi? Kesibukan kita hanya membicarakan (mengurusi) karya sastra dengan menyita waktu panjang daripada berlama-lama membedah jasad teks. Agaknya hal ini berkaitan dengan apa yang dikatakan Foucault, seorang penulis yang sangat berpengaruh pada abad ke-20 dalam bidang humaniora. Foucault menyebutkan bahwa sastra hanya berurusan dengan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, kita pun cenderung membiarkan teks sastra menjadi cerita pengalaman pribadi. Sebenarnya, hal tersebut hanya dijadikan sebagai sumber ilham sastrawan. Sedangkan, di luar dari teks harus lebih jauh membawa pembaca berjalan dalam pemaknaan.
Tasawuf akan membawa ke jalan itu karena tasawuf membuat pikiran ke mistik (inti teks) di kepala penulis. Bukankah jalan tasawuf paling banyak melahirkan para penulis dunia? Terutama dalam dunia penyair, seperti, Jalalludin Rumi, Fariduddin Atta, Ibnu Arabi, Hamzah Fansuri, dan masih banyak lagi. Karya mereka hidup setiap zaman, selalu menyesuaikan pergerakan waktu. Agaknya, roh dalam tulisan tersebut akan terasa ketika teksnya dibaca, baik teks yang menyinggung politik, pemerintah, seni, ilmu bahasa, metafisika, maupun psikologi pembaca. Apabila penulis menulis dengan baik dan paham tentang tasawuf, penikmat (pembaca) akan lebih kaya memaknai karya sastra.
Wadah-wadah pemaknaan sastra akan semakin banyak dan tidak terpaku dengan keindahan kata-kata sastra semata. Akan tetapi, melompati keindahan (estetika), tidak pula menolak keindahan melainkan memosisikan pemikiran ke dalam pemaknaan suatu karya. Sebab, karya sastra memainkan peranan tentang ajaran-ajaran yang tidak bisa disampaikan secara deskriptif. Pemaknaan tersebut bermain di wilayah rahasia. Hal ini karena para sastrawan memang bermain pada wilayah ruang rahasia. Gemar sekali bersunyi-sunyi, tidak suka berterus-terang. Hal itulah lahirnya rahasia estetika. Lalu, hasilnya menemui pembaca yang diam-diam mengolah imajinasi ke arah yang tidak bisa ditentukan.
Kajian secara mendalam dengan melihat estetika menjadi sangat penting karena keindahan sastra akan menyimpan makna-makna yang luas sehingga landasan teori tasawuf menjadikan jati dirinya sangat berperan. Lagi pula kajian tasawuf menjadikan landasan untuk sebuah karya-karya yang telah jadi. Hubungan tasawuf dan estetika sangat erat, saling membutuhkan dan mempengaruhi. Apalagi hubungan Islam dengan sastra Melayu, seperti gurindam, tunjuk ajar, dan kebudayaannya. Sangat kental dipengaruhi oleh ilmu tasawuf.
Lalu, apakah hari ini para pembaca dan penulis sastra Riau masih berkutat pada teks, yaitu fokus kepada estetika semata sehingga akan membentuk kemiskinan literer, tak mampu mendobrak tembok makna yang dipagar oleh estetika? Di tengah pandangan para penulis yang begitu banyak mengaku sebagai penulis, tetapi miskin makna di tengah kelam, nilai sastra Riau mulai redup di tengah-tengah pemuda milenial yang tidak memahami apa itu tasawuf.
Komentar