Kato-Kato, Latto-Latto, Clackers Penamaan dari Bunyinya?
Oleh: Saharul Hariyono
Kini di Indonesia tampak riuh kemunculan kembali sebuah permainan menyerupai pendulum dua bola yang dimainkan dengan beradu. Ikhwal mainan ini dikutip dari berbagai sumber Indonesia disebut dengan kato-kato (dalam bahasa Muna), latto-latto (dalam bahasa Bugis). Namun, hasil penelusuran dari KBBI pemutakhiran terakhir (Oktober 2022) nama-nama permainan itu belum terdaftar. Adapun di pencarian tersebut saat mencari kato-kato hanya mucul n Mu—singkatan dari label kelas kata nomina/benda khusus bahasa Muna/Mu berupa kentongan, dengan cara dipukul-pukul. Satu atau dua orang atau kita mungkin berhipotesis bila penamaan permainan tersebut didasarkan peniruan bunyi bendanya. Pemahaman seperti ini tentu tidaklah salah karena salah satu cara penamaan sebuah benda di sekitar manusia ditentukan dengan konsep peniruan bunyi. Seperti yang telah dibukukan pakar inguistik, Harimurti kridalaksana (2008) penamaan suatu benda dengan peniruan bunyi itu disebut onomatope. Senada dengan Elin Dofs (2008), onomatopoeia atau onomatope adalah tanda ikonik berdasarkan suara yang dihasilkannya.
Tok…tok… atau bisa juga kato…kato… dapat disematkan dari bunyi yang dikeluarkan permainan benda ini merunut dari penamaan di Muna, sebelah tenggara Sulawesi. Di daerah tersebut, permainan ini telah dimainkan di era 90-an dan sekarang muncul kembali dan populer di kalangan kawula muda. Dalam kamus Muna—Indonesia yang disusun Mattalitti, dkk (1985), kato-kato adalah permainan yang membunyikan—berbunyi, sementara vokabuler lainnya oleh Berg dan Sidu (2000), kato-kato disebut juga dengan kentongan yang seperti kita ketahui mengeluarkan bunyi tok…tok… ketika dipukul (selaras dengan penjelasan KBBI sebelumnya). Penulis menyepakati ini karena penulis berasal dari Muna dan pengalaman mendengar cerita orang tua/dituakan di sana. Runtut bunyi kentongan, ternyata dijadikan penamaan permainan pendulum bola itu di Sulawesi Tengah, sementara Sulawesi belahan utara mengenal permainan ini dengan toki-toki. Ada pula menyebutnya latto-latto di Sulawesi Selatan (dalam bahasa Bugis). Sementara di Jawa sebagian besar menamai dengan etek-etek. Jadi, ditarik simpulan penamaan permainan ini adalah sebagian besar asimilasi.
Apakah latto-latto merupakan onomatope? Konsep Harimurti Kridalaksana beserta contoh-contoh penamaan di atas, tampak mengisyaratkan kekhawatiran masuk dalam bentuk onomatope. Telah terpampang dengan jelas mimikri bunyi mesti berasosiasi baik dengan benda maupun perbuatan itu. Sampai detik ini, pendulum dengan dua bola itu berbunyi tebal huruf konsonan T diawalnya dan berakhiran K setiap kali dimainkan. Cukup jenaka melihat betapa berbedanya onomatope antarmasyarakat. Bisa saja menduga orang pertama yang melemparkan sebutan latto-latto memiliki kelainan pendengaran—hanya Tuhan yang tahu. Mungkin juga penamaan itu menyesuaikan kondisi di lapangan dalam perihal ini lidah penutur asli. Namun, di sisi lain dari Sabang sampai Merauke familiar menyebut permainan ini dengan latto-latto. Kondangnya nama penyebutan latto-latto permainan tersebut didasari banyak di wilayah Makassar menjadikannya sebagai ajang lomba. Alhasil, banyak daerah-daerah lain mencoba konsep yang sama sehingga jadilah penyebutan secara umum latto-latto.
Jauh sebelum Indonesia mengenalnya, mainan ini telah beradu sejak 1960-an di belahan Benua Amerika dikenal dengan nama Clackers Balls Toys. Penamaannya bukan tanpa sebab. Permainan dengan bola akrilik sebagai pemberatnya memiliki satu tujuan yaitu memantulkan bola tersebut satu sama lain sehingga menghasilkan bunyi clack…clack… yang memuaskan menurut pemberitaan The Guardian (26/07/2001). Cukup pegang bagian tengah tali, gerakkan pergelangan tangan ke atas dan ke bawah, dan saksikan bola saling bertabrakan. Selain itu, banyak menyebutnya sebagai click-clacks, knockers, clankers disesuaikan berdasarkan merek dagang kala itu di Amerika maupun Inggris. Dilansir dari Kompas.com, pada awal ‘70an perajin menyerupai pendulum ini telah terjual jutaan di seluruh dunia. Bunyi sama, pendengaran berbeda. Itulah kekayaan bahasa onomatope timpal Seno Joko Suyono (2007) dalam artikelnya yang terbit di majalah Tempo.
Lantas bagaimana dengan sebuah benda telah ada nama spesifiknya tetapi ada naman tiruan bunyinya? Misalnya kucing, konvensi lain Indonesia menyebut [meong] atau Inggris Cat lainnya [moew] atau Swedia Katt lainnya [mjau]. Apakah masih bisa disebut dengan onomatope? Jawabannya iya. Onomatope tidak terbatas bagi benda-benda yang belum dikenali kemudian dibuatkan namanya, tetapi juga menyangkut benda-benda yang telah terdaftar di kamus (dengan catatan benda yang memiliki bunyi ketika mendapat aktivitas). Ranah ini dapat digolongkan berdasarkan benda makhluk hidup; benda mati; dan aktivitas. Menurut Ivan Lanin (pegiat bahasa), kata tiruan bunyi dalam bahasa Indonesia belum banyak. Perihal ini bisa didasari penggunannya hanya dapat ditemui ketika menyusun sebuah cerita pendek/novel atau pun cerita anak. Cerpen misalnya menarasikan tokoh utama saat batuk diganti dengan uhuk-uhuk atau cernak bercerita fabel ayam padanannya kokok. Berbicara perihal penamaan dari bunyinya, rasanya kita akan semua sepakat bila hewan cicak berasal dari suaranya: cek…cek…cek. Seperti halnya juga tokek memiliki kemiripan dengan suara yang dihasilkannya. Satu lagi bisa ditambahkan, bunyi gltak tokoh Gundala menggampar musuhnya dalam komik.
Di Indonesia ada permainan lagi yang barangkali nama permainannya berangkat dari onomatope. Permainan itu disebut dengan Boi. Sebelum permainan dimulai, disiapkan terlebih dahulu suatu lapangan permainan mirip papan catur yang berjumlah 20-30 kotak dengan pemain 3-5 yang terdiri dari dua tim. Permulaan pimpinan tim akan mengadakan undian siapa yang akan bertugas menjadi tim yang menyusun kotak dan tim yang bertugas menjaga kotak disertai menyerang menggunakan bola kastik. Cara mainnya mengisi kotak-kotak tersebut dengan batu atau pecahan genteng atau potongan kayu sampai kotak tersebut penuh. Tim yang telah memenuhinya akan berbicara boi… menandakan permainan telah selesai. Lumrahnya permainan ini ditemukan di Sulawesi Tenggara, sementara di Jawa Barat hampir dengan permainan sama yang butuh regu disebut dengan Sorodot Gaplok. Sorodot bermakna meluncur (dalam bahasa Sunda) sementara Gaplok diasosiasikan plok seperti bunyi menampar. Jadi, secara sederhana arah main Sorodot Gaplok menempatkan batu ke batu lain dengan cara diluncurkan hingga akhirnya terdengar bunyi plok…plok.
Secara khasanah, penamaan benda dari hasil mimikri bunyi banyak disumbang dari bahasa-bahasa daerah. Keterbiasaan memakai bahasa ibu cukup memudahkan penamaan. Aspek lain dari onomatope yang telah menarik perhatian dewasan ini adalah integrasi fonologi, morfologi, dan morfosintaksisnya.
Komentar