Jatuh Bangun Teater Sekolah
Oleh: Suyadi San
(Peneliti Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas Badan Riset dan Inovasi Nasional)
Salah satu pokok kajian dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia serta Seni dan Budaya di sekolah adalah teater. Tujuan pembelajaran teater ini bukan ”membentuk” para pebelajar menjadi seniman atau dramawan, melainkan hanya membimbing mereka agar dapat memahami, menikmati, dan menciptakan karya teater secara sederhana. Bagi yang berminat serius, kelak mendalaminya di lembaga pendidikan kesenian ataupun di dalam sanggar pilihannya.
Mengapa penulis mengangkat topik ini sekarang? Setidaknya, tulisan ini jadi setawars idingin untuk membangkitkan kembali kebergairahan teater sekolah di Indonesia pascapandemi Covid-19. Apalagi, saat ini dunia pendidikan di Indonesia tengah menjalankan Kurikulum Merdeka Berbasis Profil Pelajar Pancasila. Kurikulum ini secara tersirat mengisyaratkan pembelajar terus aktif menggerakkan aktivitas siswanya.
Perlu kita ketahui, mengelola dan membina teater sekolah bukan untuk membentuk siswa menjadi aktor, melainkan agar lebih mengenali diri sendiri. Penulis melihat sendiri kebergairahan teater di kalangan pelajar ketika menjadi juri lomba teater tingkat pelajar serta sejumlah pertunjukan teater sekolah di Medan dan sekitarnya.
Bukankah perkembangan teater di negeri ini dimulai dari kaum terpelajar di kota? Ya, mereka berteater sebelum pemerintah memberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), apalagi Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka Belajar sekarang. Kurikulum boleh berubah, tetapi semangat mereka berteater patut diberi acungan jempol.
Sebagai institusi kolektif yang di dalamnya terdapat individu-individu, serta dipengaruhi ruang, waktu, pemikiran, dan perkembangan zaman, sanggar-sanggar tersebut menjalani sifatnya yang alamiah, yaitu proses. Oleh sebab itu, ada sanggar yang setelah sekali pementasan lalu kemudian mati suri, ada yang berkembang secara elegan, serta ada pula yang maju secara pesat. Di sisi lain, pertumbuhan tersebut berdampak terhadap kuantitas dan kualitas penonton. Ternyata bukan hanya anak sekolah yang mengunjungi pertunjukan teater, keluarganya pun turut serta. Selain itu, terdapat pula anggota sanggar yang setelah menamatkan studi, melanjutkannya ke perguruan tinggi atau program studi seni.
Perkembangan positif sebagaimana digambarkan di atas, semoga tidak membuat pelaku-pelaku teater larut dalam utopia. Sebab, pembinaan teater tidak pernah mengenal kata “selesai”. Pencapaian yang ada sekarang, jelas merupakan akumulasi banyak faktor. Sebut saja peran pemerintah, peran kepala sekolah dan guru, peran keluarga, masyarakat, media massa dan lain sebagainya, serta yang tak boleh dilupakan adalah peran dari insan-insan pelaku teater itu sendiri, yang ditunjukkan lewat performa, perilaku, dan unjuk karya.
Dengan pemahaman seperti ini, komunikasi dan silaturahmi kepada semua pihak, terutama antarpelaku seni teater, mutlak terus dilakukan. Muara dari upaya tersebut adalah percepatan serasi antara pertumbuhan komunitas-komunitas teater dan kemampuan khalayak luas selaku kumpulan individu masyarakat penonton dalam mencerap, baik keberadaan organisasi maupun hasil karya pementasan.
Keseimbangan antara dua aspek tersebut adalah tumbuh berkembangnya kesadaran dalam masyarakat tentang arti penting teater dalam dinamika sosial, yang bukan hanya sebagai sarana penghibur, melainkan sekaligus sebagai media pendidikan. Di sisi lain, teater juga tumbuh dengan kepekaan membaca kondisi sosial masyarakat, membaca tanda-tanda zaman untuk kemudian diendapkan dalam permenungan jujur dan mendalam yang selanjutnya diwujudkan dalam pementasan karya teater. Dengan demikian, tidak hanya keterwakilan dan rasa memiliki yang ada dalam benak dan hati masyarakat penonton ketika menikmati pertunjukan, tetapi juga bahwa teater dalam arti keberadaan dan perbuatan, berperan vital dalam proses sosial.
Reposisi terhadap kedudukan dan fungsi teater dalam masyarakat, sesegera mungkin harus dilakukan secara bijak. Caranya, tidak lain dengan mengusung teater ke bangku sekolah. Wah, teater bisa sekolah? Tentu saja. Seni teater ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum dalam bentuk paket pembelajaran, di antaranya melalui kegiatan ekstrakurikuler ataupun pengembangan diri. Ada pula langsung menjadi mata pelajaran sendiri, yakni Seni Budaya (Seni Teater) dan Bahasa Indonesia. Bahkan, ada pula yang kedua-duanya, menjadi mata pelajaran dan ekstrakurikuler.
Keberadaan studi teater di sekolah ini bisa saja dijadikan embrio untuk pembentukan sanggar teater sekolah. Selain hal itu bertujuan untuk mengembangkan dunia teater di daerah setempat, studi teater ini dapat sebagai tempat menyalurkan bakat dan minat siswa-siswa di sekolah. Teater sekolah, selain sebagai media penyaluran minat bakat siswa, serta sebagai kawah candradimuka pembentukan kepribadian, proses latihan teater yang kompleks, nyata-nyata juga selaras dengan Taksonomi Bloom. Simak saja contoh-contoh dalam latihan-latihan dasar yang berkenaan dengan pengembangan kemampuan kognitif, mulai dari membaca, menghafal naskah, dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan bedah naskah dan analisis pemeranan.
Berkenaan dengan kemampuan afektif, mulai dari olah rasa, kontemplasi, observasi, dan sebagainya sampai kepada kemampuan menghayati tokoh cerita dalam naskah. Begitu juga kemampuan psikomotorik, mulai dari pemanasan, olah tubuh, olah vokal, mimik, pose, gestur, pantomim, moving, grouping, dan sebagainya sampai kepada bloking pementasan. Sementara itu, dari sisi produksi, kemampuan manajerial, kerja sama tim, beserta lika-liku penyelenggaraan pementasan adalah laboratorium lengkap bagi pengembangan nilai-nilai moral, mental, spiritual, dan intelektual siswa. Peserta didik menguasai teknik, eksplorasi alat, bahan, teknologi, dan mampu memanfaatkannya sesuai dengan prosedur dan teknik, untuk dapat menjawab kesempatan dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari.Peserta didik membutuhkan imajinasi untuk tumbuh, berkreasi, berpikir, dan bermain. Teater adalah satu-satunya media paling sesuai untuk menjelajahi kemungkinan tak terbatas dari proses imajinasi mereka dan apa yang dapat mereka lakukan.
Berkaitan dengan Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka, membangun teater sekolah bertujuan agar peserta didik mampu mengasah kepekaannya terhadap persoalan diri dan mampu mencari solusi, baik untuk diri sendiri, sesama maupun dunia sekitarnya; serta mampu mengekspresikan diri secara kreatif dan inovatif melalui tubuh, ruang, dan waktu.
Begitulah. Manfaat seni teater bagi siswa sesungguhnya adalah melatih diri dalam memaknai perilaku, tanggung jawab, kejujuran, disiplin, percaya diri, kerja sama, mengontrol ego, serta mengasah kepekaan jiwa dan empati. Dengan teater, generasi muda kita akan mampu mengembangkan diri dan mengomunikasikan gagasan, serta karya dengan lebih baik.
Komentar